Setelah ku berusaha menggali lapangan bebas hambatan. Ku ingin apapun bisa ku tampung dengan senyum. Tak merasakan lagi sakitnya tersentuh suluh, terkena sembilu dan terbesit sisik. Diri ini begitu lega dan leluasa, begitu genah dan tumaninah.
Kemaren yang begitu loreng tercoreng topeng, kini baik tanpa sisik. Kemaren yang lancang mengguncang, kini terang benderang. Langit mengintip, bumi madani, angin sepoi begitu amboi.
Banyak rasa yang binasa, banyak sisi yang menyiksa, banyak dan banyak lagi yang membuat hati tak nyenyak. Minyak yang riak, kini mulai bening menghening. Kepala menyala, telinga menduga. Air mata menggenang tenang, riangpun menyiangi sayang.
Hari ini, kumulai bernyanyi dengan bunyi. Sore ini ku mulai menata serai yang bercerai. Menumpuk pupuk yang membuat empuk. Sementara, malam ini kan ku nyalakan lilin sebagai pengamin sang pengaman. Hati mulai tak sepi, ranah mulai genah. Jiwa terlihat nyata dalam belanga. Smua hal tak usah ku khawatirkan dengan ketir. Toh waktu kan menjawab jerembab yang mujarab. Obat duka adalah suka, obat sakit adalah rakit. Dulang pengembang adonan. Hasil yang tak mustahil akan terbedil. Dunia ini berasa rasa, dunia ini membuka siksa. Dunia inipun tentang apa yang tertanam dan terbenam. Dunia inipun mengajariku tuk mengerti apa yang ingin ku cari.
Malam ini begitu indah. Malam inipun begitu membuncah. Awan kelam menjadi senam. Awan biru terlihat sendu. Dunia ini begitu nyata adanya. Begitu ada bertanya, begitu jawab jawablah dengan apa yang ada tetap di pelupuk matamu itu. Dan pejamkanlah matamu sejenak saja, tuk bersanak dengan demak sekedar menyimak. Dan berikan sebuah kardus tuk mengendus hal halus yang tak terurus. Penataan tetap lebih apik dari hal-hal yang lebih cerdik.